Come back again with us, readers!
Bicara soal mitigasi gunung meletus nih, sadarkah kalian bahwa bencana ini merupakan salah satu bencana yang sering terjadi di negara kita?
Salah satu gunung api di Indonesia yang sangat aktif adalah Gunung Merapi di Jawa Tengah.
Tahu kah kalian, saat ini sudah ada teknologi canggih sudah digunakan untuk mengawasi aktifitas Gunung Merapi?
Wah bagaimana ya, teknologi ini bekerja? Bisakah teknologi ini membantu manusia menghadapi bencana?
Kami punya informasinya untuk kalian, readers!
Untuk pertama kali sejak mengalami letusan pada 2010, puncak Gunung Merapi berhasil dipotret menggunakan teknologi UAV.
Gambar tersebut diperoleh dengan pesawat terbang tanpa awak (Unmanned Aerial Vehicle) atau UAV pada 25 dan 26 April lalu. Dalam pemantauan ini Lembaga Penerbagangan dan Antariksa Nasional bekerja sama dengan FMIPA dan F Geografi UGM serta R Botix Bandung.
Pemantauan Merapi ini menggunakan pesawat terbang nirawak berbahan styrofoam dengan panjang sayap 1,6 meter dan panjang badan 1,2 meter. Pesawat ini dilengkapi sistem terbang otomatis dengan program sasaran dan jalur terbang yang telah ditentukan.
Pesawat ini membawa kamera saku dan dapat terbang selama 30 menit. Sistem surveillance pesawat ini ternyata mampu merekam gambar di atas Gunung Merapi dengan terbang vertikal hingga ketinggian 3300 meter atau sekitar 400 meter dari puncak Merapi.
Sebanyak 900 gambar resolusi tinggi berhasil diperoleh. Gambar-gambar tersebut akan diolah untuk menghasilkan informasi yang lebih detail. Informasi tersebut dapat digunakan untuk bahan mitigasi bencana. Informasi ini juga akan diserahkan ke pemerintah daerah untuk dijadikan informasi awal.
Keberhasilan ini sangat penting bagi kebutuhan pemantauan spasial yang harus dilakukan secara berkala terhadap gunung api tersebut. Pemantauan ini merupakan rangkaian penelitian bersama berjudul Membangun Kapasitas Daerah Sleman untuk Mitigasi Bencana Alam dengan Menggunakan Teknologi UAV.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan upaya mitigasi bencana Gunung Merapi berbasis data informasi tiga dimensi. Dalam penelitian ini, pesawat tanpa awak memotret kubah dan sungai-sungai yang dialui lahar. Pemotretan juga dilakukan dalam berbagai variasi sudut. Foto yang dihasilkan kemudian diolah dalam bentuk tiga dimensi atau Digital Elevation Model.
Bentuk tiga dimensi tersebut akan mempermudah penghitungan volume lahar dingin dan kubah. Dengan demikian, sumber primer bencana berupa besar guyuran lahar dapat diperhitungkan. Hal ini akan mengakibatkan proses mitigasi, evakuasi, dan peringatan dini tentang besarnya bencana dapat terinformasikan.
Gambar tersebut diperoleh dengan pesawat terbang tanpa awak (Unmanned Aerial Vehicle) atau UAV pada 25 dan 26 April lalu. Dalam pemantauan ini Lembaga Penerbagangan dan Antariksa Nasional bekerja sama dengan FMIPA dan F Geografi UGM serta R Botix Bandung.
Pemantauan Merapi ini menggunakan pesawat terbang nirawak berbahan styrofoam dengan panjang sayap 1,6 meter dan panjang badan 1,2 meter. Pesawat ini dilengkapi sistem terbang otomatis dengan program sasaran dan jalur terbang yang telah ditentukan.
Pesawat ini membawa kamera saku dan dapat terbang selama 30 menit. Sistem surveillance pesawat ini ternyata mampu merekam gambar di atas Gunung Merapi dengan terbang vertikal hingga ketinggian 3300 meter atau sekitar 400 meter dari puncak Merapi.
Sebanyak 900 gambar resolusi tinggi berhasil diperoleh. Gambar-gambar tersebut akan diolah untuk menghasilkan informasi yang lebih detail. Informasi tersebut dapat digunakan untuk bahan mitigasi bencana. Informasi ini juga akan diserahkan ke pemerintah daerah untuk dijadikan informasi awal.
Keberhasilan ini sangat penting bagi kebutuhan pemantauan spasial yang harus dilakukan secara berkala terhadap gunung api tersebut. Pemantauan ini merupakan rangkaian penelitian bersama berjudul Membangun Kapasitas Daerah Sleman untuk Mitigasi Bencana Alam dengan Menggunakan Teknologi UAV.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan upaya mitigasi bencana Gunung Merapi berbasis data informasi tiga dimensi. Dalam penelitian ini, pesawat tanpa awak memotret kubah dan sungai-sungai yang dialui lahar. Pemotretan juga dilakukan dalam berbagai variasi sudut. Foto yang dihasilkan kemudian diolah dalam bentuk tiga dimensi atau Digital Elevation Model.
Bentuk tiga dimensi tersebut akan mempermudah penghitungan volume lahar dingin dan kubah. Dengan demikian, sumber primer bencana berupa besar guyuran lahar dapat diperhitungkan. Hal ini akan mengakibatkan proses mitigasi, evakuasi, dan peringatan dini tentang besarnya bencana dapat terinformasikan.
sumber:http://www.technology-indonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar